Detail Cantuman

No image available for this title

Text  

Keterlibatan Penduduk Sipil Pada Sengketa Bersenjata Non-Internasional Menurut Perspektif Hukum Nasional Dalam Kerangka Negara Hukum


ABSTRAK

Peningkatan partisipasi langsung penduduk sipil pada konflik bersenjata noninternasional
disebabkan banyak hal seperti ...

  • CodeCallNoLokasiKetersediaan
    D4695D4695Perpustakaan Sekolah PascasarjanaTersedia
  • Perpustakaan
    Sekolah Pascasarjana
    Judul Seri
    -
    No. Panggil
    D4695
    Penerbit : Bandung.,
    Deskripsi Fisik
    -
    Bahasa
    Indonesia
    ISBN/ISSN
    -
    Klasifikasi
    NONE
    Tipe Isi
    -
    Tipe Media
    -
    Tipe Pembawa
    -
    Edisi
    -
    Subyek
    Info Detil Spesifik
    -
    Pernyataan Tanggungjawab
  • ABSTRAK

    Peningkatan partisipasi langsung penduduk sipil pada konflik bersenjata noninternasional
    disebabkan banyak hal seperti frekuensi konflik bersenjata antarnegara yang
    secara drastis berkurang, terjadi revolusi masalah-masalah militer, meningkatnya peran
    orang sipil dalam perang berteknologi modern seperti perang siber dan penggunaan
    drone, medan pertempuran di wilayah pemukiman, penggunaan sumber daya non-militer
    maupun pengaruh politik global dalam tingkat tertentu seperti yang terjadi pada Arab
    Spring. Partisipasi tersebut melanggar prinsip pembedaan karena mengaburkan penduduk
    sipil yang tidak turut serta dan yang berpartisipasi langsung dalam permusuhan.
    Ketidakjelasan makna partisipasi langsung dalam permusuhan dalam Pasal 3 Konvensi
    Jenewa 1949 dan Pasal 13 ayat (3) Protokol Tambahan II 1977 membuat ICRC
    mengusulkan Interpretive Guidance sebagai pedoman tatacara berperang walaupun
    mendapatkan penolakan karena alasan militer dan non-militer. Mengingat hal ini dapat
    terjadi di masa datang, perlu dikaji apa saja batasan yang harus dipertimbangkan
    Indonesia, bagaimana perspektif hukum nasional maupun politik hukum tentang
    partisipasi langsung dalam permusuhan pada konflik bersenjata non-internasional dalam
    kerangka negara hukum. Analisis kualitatif dilakukan pada norma hukum, kelembagaan
    terkait serta politik hukum perundang-undangan maupun penegakannya melalui
    penelitian pada bahan hukum primer dan sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan.
    Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi tempur yang bersifat terus-menerus
    (continuous combat function) terkait mekanisme “revolving door” yang memberikan
    perlindungan dari serangan langsung pada orang sipil dalam jeda/interval sebelum
    kembali berpartisipasi aktif, sebagai unsur partisipasi langsung dalam permusuhan adalah
    norma baru yang tidak terdapat dalam hukum humaniter sehingga pada akhirnya
    mengaburkan prinsip pembedaan. Gagasan Interpretive Guidance belum dapat menjawab
    tantangan tersebut, terutama dengan bentuk perang modern seperti penggunaan drone dan
    perang siber yang memiliki aspek temporal dan kedekatan geografis. Sementara prinsip
    pembedaan adalah prinsip fundamental yang diderivasikan dari ajaran agama dan
    dikuatkan dalam berbagai instrumen hukum humaniter sehingga tidak dapat
    dikesampingkan dengan pertimbangan non-militer atau HAM. Adapun perspektif hukum
    nasional masih memerlukan penyempurnaan secara fundamental. Sistem pertahanan
    rakyat semesta berdasarkan Pasal 27 ayat (3) dan 30 ayat (1) UUD 1945 tentang hak dan
    kewajiban bela negara pada satu sisi tidak selaras dengan penerapan prinsip pembedaan
    karena akan menempatkan seluruh komponen cadangan maupun komponen pendukung
    sebagai “kombatan”. Pasal 7 UU No. 34/2004 tentang TNI yang menentukan tugas
    mengatasi perang pemberontakan dan perlawanan separatis bersenjata dengan operasi
    militer selain perang (OMSP) menggambarkan suatu contradictio in terminis. Perppu No.
    23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya dan aturan lainnya belum mengatur tolok ukur
    intensitas konflik dan rezim hukumnya.
    Oleh karena itu UU TNI harus direvisi terkait penentuan status orang sipil dalam
    penerapan prinsip pembedaan, pemisahan perang pemberontakan dan gerakan separatis
    bersenjata dari operasi militer selain perang dan penegasannya sebagai konflik bersenjata
    yang tunduk pula pada rezim hukum humaniter. Perppu No. 23/1959 harus menetapkan
    parameter objektif ambang batas minimum konflik bersenjata non-internasional dan
    rezim hukum untuk setiap keadaan darurat. Agar penyempurnaan norma hukum serta
    kebijakan negara terlaksana pada koridor rule of law, termasuk pada norma hukum
    humaniter yang berstatus sebagai hukum kebiasaan internasional seperti prinsip
    pembedaan, maka diperlukan suatu Manual Militer yang bersifat komprehensif sehingga
    penanganan konflik semacam ini tidak lagi bersifat reaktif dan parsial.
    vii

    ABSTRACT

    Increased direct participation by civilians in non-international armed conflicts is
    caused by various things such as the frequency of armed conflicts between countries have
    drastically reduced, revolution in military affairs, the increasing role of civilians in
    modern technology warfare such as cyber warfare and the use of drones, the battlefield
    in residential areas, the use of outsourcing in traditional military functions and certain
    level conflict as occurred in “Arab Spring”. Such participation violates the principle of
    distinction because it obscures civilians who do not participate and who participate
    directly in hostilities. This obscurity is increased with the vagueness of an clear
    understanding on the concept of direct participation in hostilities stipulated in Article 3
    of the 1949 Geneva Conventions and Additional Protocol II of 1977. This resulted in
    ICRC proposal of Interpretive Guidance, despite gaining rejection for military and nonmilitary
    reasons. Given such participation can occur in the future, it is necessary to
    examine legal aspects to be considered by Indonesia, including the perspective of
    national law and government policies within the framework of the rule of law. Qualitative
    analysis is carried out on legal norms, related institutions and legal policy as well as its
    enforcement through research on primary and secondary legal materials obtained from
    library studies.
    The results shows that continuous combat function related to “revolving
    door” mechanism that provides protection from direct attack at the interval
    before returning to active participation as an element of direct participation in
    hostilities, is a new norm, inaccordance with and ultimately obscures distinction
    principle. Interpretive Guidance has not been able to answer this challenge, especially
    in modern cyber warfare and the use of drone that have temporal and geographical
    aspects. While the principle of distinction is a fundamental principle derived from
    religious teachings and strengthened in various humanitarian law instruments and
    cannot be ruled out by non-military or human rights considerations. The perspective of
    national law still requires fundamental improvement. The universal people's defense
    system based on Article 27 para(3) and Article 30 para(1) of the 1945 Constitution
    concerning the rights and obligations to defend the state on the one hand is not in line
    with the application distinction principle because it will place all components as
    "combatants". Article 7 of Law No. 34/2004 concerning the TNI which determines the
    task on military operation other than war (MOOTW) to cope with insurgency and armed
    separatist movement reflects contradictio in terminis. The Law No. 23/1959 concerning
    the state of emergency and other rules have not set the threshold for conflict intensity and
    its legal regime as an armed conflict.
    Therefore the TNI Law must be revised regarding the determination on the status
    of civilians in the application of distinction principle, the insurgency and armed
    separatist movements should be handled with military operations and its affirmation as
    armed conflict subject to humanitarian law regime. Law No. 23/1959 must determine the
    objective parameters of the minimum threshold in non-international armed conflict and
    legal regime for each state of emergency. Legal norms and government policies should be
    carried out based on the rule of law, including the norms of international customary
    humanitarian law such as distinction principle and a comprehensive Military Manual is
    needed so conflict settlement is no longer reactive and partial.
  • Tidak tersedia versi lain

  • Silakan login dahulu untuk melihat atau memberi komentar.


Informasi