Detail Cantuman

No image available for this title

Text  

"Tata Kelola Pemerintahan Daerah Provinsi Banten (Studi Tentang Perilaku Aktor-Aktor Kepemerintahan Daerah Tahun 2005-2013)"


Implementasi otonomi daerah di Indonesia masih menyisakan banyak
permasalahan. Paradigma governance yang diadopsi sebagai nilai baru dalam

  • CodeCallNoLokasiKetersediaan
    D4590D4590Perpustakaan Sekolah PascasarjanaTersedia
  • Perpustakaan
    Sekolah Pascasarjana
    Judul Seri
    -
    No. Panggil
    D4590
    Penerbit : Bandung.,
    Deskripsi Fisik
    -
    Bahasa
    Indonesia
    ISBN/ISSN
    -
    Klasifikasi
    NONE
    Tipe Isi
    -
    Tipe Media
    -
    Tipe Pembawa
    -
    Edisi
    -
    Subyek
    Info Detil Spesifik
    -
    Pernyataan Tanggungjawab
  • Implementasi otonomi daerah di Indonesia masih menyisakan banyak
    permasalahan. Paradigma governance yang diadopsi sebagai nilai baru dalam
    penyelenggaraan pemerintahan daerah pada praktiknya masih berjarak dari
    idealitanya, tak terkecuali di Provinsi Banten. Sejumlah gejala patologis yang
    mewarnai perjalanan Banten sebagai daerah otonom baru pascaterbentuk pada
    tahun 2000, merepresentasi bukan hanya rendahnya efektivitas penyelenggaraan
    pemerintahan namun juga buruknya wajah tata kelola pemerintahan daerah.
    Berdasarkan latar belakang inilah penelitian yang bertujuan mengeksplorasi
    secara kualitatif tentang kondisi tata kelola pemerintahan daerah ini dilakukan
    dalam kerangka kerja governance evaluation (Bovaird dan Löffler, 2002).
    Pendekatan perilaku digunakan guna mendeskripsikan ragam perilaku dan faktorfaktor
    yang mendorong munculnya perilaku aktor-aktor kepemerintahan daerah
    sebagaimana dimaksud Rondinelli (2006), yaitu: pemerintahan daerah, sektor
    privat, dan masyarakat sipil. Sedangkan eksistensi aktor-aktor tersebut dianalisis
    perannya sebagai konstituen, dimana interaksi yang terjadi antaraktor tersebut
    dipahami sebagai lingkungan yang menentukan karakteristik dan kualitas tata
    kelola pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud teori multipel konstituensi
    (Connolly, Conlon, dan Deutsch,1980).
    Penelitian ini secara eksploratif berhasil mengungkap kondisi tata kelola
    pemerintahan daerah yang belum berorientasi pada isu-isu utama tata kelola
    pemerintahan daerah, sebagaimana tampak dari kondisi transparansi, akuntabilitas,
    partisipasi, kepercayaan publik, dan penghormatan pada proses-proses demokratis
    yang masih memprihatinkan. Kondisi ini secara nyata ditentukan oleh ragam
    perilaku aktor-aktor kepemerintahan daerah yang kurang mendukung terwujudnya
    tata kelola pemerintahan daerah yang baik sebagaimana dicirikan oleh perilaku elit
    pemerintahan daerah yang otoritanianistik, kooptatif, interventif, mempolitisasi
    birokrasi dan sumber daya negara, serta perilaku berburu rente. Demikian pula
    dengan perilaku sektor privat yang kolusif, nepotis, dan perilaku berburu rente yang
    menyebabkan terabaikannya hak-hak publik atas pembangunan daerah yang
    berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Di samping itu, pragmatisme di
    kalangan elemen masyarakat sipil ditunjukkan oleh perilaku memanfaatkan
    kelembagaan organisasi untuk memperoleh keuntungan pribadi maupun kolektif;
    serta perilaku memanfaatkan kesempatan dalam rangka mobilitas vertikal, baik
    secara ekonomi maupun politik.
    Terdapat ragam faktor berbeda yang teridentifikasi menentukan perilaku
    masing-masing aktor tata kelola pemerintahan daerah. Perilaku elit pemerintahan
    daerah misalnya, lebih banyak ditentukan oleh faktor personal, faktor yuridis, faktor
    budaya, dan faktor ekonomi. Sementara perilaku elit birokrasi lebih banyak
    ditentukan oleh faktor politik, dan faktor ekonomi. Kondisi penegakan hukum serta
    pengawasan dan pengendalian pembangunan yang lemah, teridentifikasi sebagai
    lahan bagi tumbuh suburnya perilaku kolusif dan nepotis di kalangan sektor privat.
    Sedangkan perilaku masyarakat sipil yang pragmatis terbentuk oleh lemahnya
    kemandirian ekonomi, rendahnya kesadaran, serta faktor budaya.
    Upaya memperbaiki kualitas tata kelola pemerintahan daerah dapat
    dilakukan melalui perbaikan perilaku aktor-aktor kepemerintahan daerah dan
    birokrasi yang lebih berorientasi pada terwujudnya isu-isu utama kepemerintahan
    daerah. Upaya ini dapat dilakukan dengan cara antara lain: (a) mewujudkan sistem
    pengendalian internal yang efektif; (b) memfasilitasi terbentuknya lembaga ad hoc
    semacam majelis kode etik di tingkat lokal; (c) mewujudkan nilai-nilai meritokrasi
    secara konsekuen dalam kebijakan kepegawaian daerah; (d) menghadirkan penyelia
    eksternal dalam proses pengadaan barang dan jasa, serta pada tahap implementasi
    dan evaluasi; (e) mengoptimalkan efektivitas implementasi Sistem Pengadaan
    Secara Elektronik (SPSE); (f) pengaturan yang rasional, obyektif, dan adil dalam
    kebijakan pemberian bantuan dana hibah bagi elemen-elemen masyarakat sipil; dan
    (g) pengawasan yang efektif disertai dengan penegakan hukum yang keras dan
    tegas.

    Kata kunci: tata kelola pemerintahan, pemerintah daerah, perilaku

    ABSTRACT

    Implementation of regional autonomy in Indonesia still leaves many
    problems. The paradigm of governance which have been adopted as a new value in
    the local government system, is still not well-implemented, not least in the province
    of Banten. A number of pathological symptoms that characterized the journey of
    Banten as a new autonomous region post-formed in 2000, represent not only the
    low effectiveness of government but also the poor face of local governance.
    Based on this background, research that aims to explore qualitatively about
    the condition of local governance is done within the framework of governance
    evaluation (Bovaird and Löffler, 2002). Behavioral approaches are used to
    describe the various behaviors and factors that determine the behavior of local
    governance actors as Rondinelli (2006) meant, namely: local government elites,
    private sector, and civil society. While the role and interaction among the actors
    is analyzed as an environment that determines the characteristics and quality of
    local governance as referred to multiple constituency theory (Connolly, Conlon,
    and Deutsch, 1980).
    This explorative research has succeeded in revealing the condition of
    local governance that has not been oriented to the main issues of governance, as
    seen from the bad condition of transparency, accountability, participation, public
    trust, and respect for democratic processes. This condition is clearly determined by
    various behavior of local governance actors which is not compatible with the value
    of good local governance as characterized by authoritarian, co-optive, interventive,
    politicizing bureaucracy and state resources, and rent-seeking behavior among
    local government elites. Similarly, the collusive, nepotistic, and rent-seeking
    behavior of the private sector causes low quality of development. In addition, the
    pragmatism among civil society elements is demonstrated by the use of
    organizational institutions for private or collective gain; as well as opportunistic
    behavior in reaching vertical mobility, both economically and politically.
    There are various factors which are identified determined the behavior of
    each local governance actors. The behavior of local government elites is largely
    determined by personal factors, juridical, cultural, and economic factors. While the
    behavior of elite bureaucracy is more determined by political and economic factors.
    The malfunction of law enforcement and developmental control are identified as
    good medium for the growth of collusive and nepotistic behavior among the private
    sector. While pragmatic behavior among the elite of civil society is formed by weak
    economic independence, low awareness, and cultural factors.
    The efforts to improve the quality of local governance can be done through
    the improvement of the behavior of local government actors and bureaucracy that
    is more oriented to the realization of the main issues of local governance. This effort
    can be done by: (a) realizing an effective internal control system; (b) facilitate the
    establishment of an ad hoc institution such as a council of ethics at the local level;
    (c) realizing meritocracy values consequently in practice; (d) presenting an
    external supervisor in the procurement process, and at the implementation and
    evaluation stage; (e) optimizing the effectiveness of e-Procurement; (f) rational,
    objective and fair arrangements in grant-giving policies for civil society elements;
    And (g) effective supervision accompanied by strict and firm law enforcement.

    Keywords: governance, local government, behavior.
  • Tidak tersedia versi lain

  • Silakan login dahulu untuk melihat atau memberi komentar.


Informasi