• Bagikan:
• 
• 
• 
• 
• 
• 
• 

Text  

Pembentukan Peradilan Khusus Penyelesaian Sengketa Pilkada Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

---

• Ketersediaan
• Informasi Detil
• Deskripsi
• Versi lain/terkait
• Komentar

• Code	CallNo	Lokasi	Ketersediaan
  D4704	D4704	Perpustakaan Sekolah Pascasarjana	Tersedia

• Perpustakaan	Sekolah Pascasarjana
  Judul Seri	-
  No. Panggil	D4704
  Penerbit	: Bandung., 2019
  Deskripsi Fisik	-
  Bahasa	Indonesia
  ISBN/ISSN	-
  Klasifikasi	NONE
  Tipe Isi	-
  Tipe Media	-
  Tipe Pembawa	-
  Edisi	-
  Subyek	sengketa proses sengketa hasil
  Info Detil Spesifik	-
  Pernyataan Tanggungjawab	-

• ABSTRAK Beralihnya penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah (Pemilukada) dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi yang kemudian diikuti dengan pembentukan peradilan khusus menunjukkan adanya persoalan yang tidak dapat diselesaikan kedua peradilan tertinggi tersebut. Namun demikian, perintah pembentukan peradilan khusus Pemilukada menemukan persoalan hukum. Disamping tidak adanya kejelasan bentuk peradilan tersebut dan sebagian persoalan Pemilukada diselesaikan lembaga lain, penyelenggara Pemilihan Umum dan badan peradilan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab argumentasi diperlukan peradilan khusus tersebut dan menemukan model peradilan khusus menyelesaikan sengketa Pemilukada menggunakan teori kekuasaan kehakiman, teori penyelesaian sengketa, dan teori electoral justice system. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conseptual approach), dan studi kasus (case study approach). Untuk menjaga konsistensi hasil studi kepustakaan dilakukan studi lapangan (field study) melalui wawancara secara mendalam dengan narasumber yang berkompeten dan mempunyai keterkaitan dengan objek penelitian. Penilitian ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, secara filsosfis, yuridis, dan sosiologis pembentukan peradilan khusus Pemilukada adalah a). dalam rangka memenuhi perintah UUD 1945 yang membatasi secara limitative kewenangan Mahkamah Konstitusi; b). memberikan kepastian hukum atas kekosongan lembaga penyelesai sengketa hasil Pemilukada pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/20013; dan c). Penyelesaian sengket hasil Pemilukada oleh Mahkamah Konstitusi melanggar asas biaya murah. Kedua, badan peradilan khusus yang menjadi model penyelesaian sengketa hasil Pemilukada adalah bersifat ad hoc yang berada di salah satu kamar di Mahkamah Agung, yaitu dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dengan ketentuan peradilan khusus tersebut berada pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama, putusannya dapat diajukan keberatan ke Mahkamah Agung, putusan Mahkamah Agung final dan mengikat untuk sengketa hasil. Sedangkan sengketa proses diselesaikan Badan Pengawas Pemilu, yang keputusannya dapat diajukan banding ke Badan Peradilan Khusus yang ada di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan putusannya final dan mengikat. Untuk mencapai model ideal peradilan khusus tersebut, perubahan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 menjadi kebutuhan prioritas sebelum pelaksanaan Pemilu serentak 2027. Kata Kunci: sengketa proses, sengketa hasil, peradilan khusus. ABSTRACT The shift in the resolution of the dispute over the results of the regional head elections from the Supreme Court to the Constitutional Court which was followed by the establishment of a special court indicated the existence of problems that could not be resolved by the two highest courts. However, the order to form a special court of the Regional Head General Election found legal issues. Besides the lack of clarity in the form of the judiciary and some of the problems of the Regional Head General Election were resolved by other institutions, General Election organizers and other judicial bodies. This study aims to answer the arguments needed by the special court and find a special judicial model to resolve disputes in the General Election of Regional Heads using judicial power theory, the theory of dispute resolution, and the electoral justice system theory. This research is a normative study with a statute approach, conceptual approach, and case study. To maintain the consistency of the results of the literature study, field studies were carried out through in-depth interviews with competent speakers and related to the object of research. This study produces two conclusions. First, philosophically, juridically, and the sociology of the formation of a special court of post-conflict local election is a). in order to fulfill the order of the 1945 Constitution which limits limitatively the authority of the Constitutional Court; b). provide legal certainty over the void of the dispute resolution institutions resulting from the post-conflict local election results after the decision of the Constitutional Court Number 97/PUU-XI/20013; and c). Settlement of the results of the General Election of Regional Heads by the Constitutional Court violates the principle of low cost. Secondly, the special judicial body which is the model for dispute resolution on Pemilukada results is ad hoc in one of the rooms in the Supreme Court, namely in the State Administrative Court with the provisions of the special court being in the State Administrative Court as the first court the decision can be filed with an objection to the Supreme Court, the decision of the Supreme Court is final and binding for the dispute over the results. While the process dispute is settled by the Election Supervisory Agency, whose decision can be appealed to the Special Judiciary Agency in the State Administrative High Court, and the decision is final and binding. To achieve the ideal model of special justice, the amendment to Law Number 10 of 2016 has become a priority requirement before the simultaneous election of 2027. Keywords: process disputes, outcome disputes, special courts.

• Tidak tersedia versi lain

• Silakan login dahulu untuk melihat atau memberi komentar.