Soft power dalam penyelesaian konplik: studi tentang politik desentralisasi di Aceh
Konflik Aceh yang berlangsung se lama 3 (tiga) dekade dapat
diselesaikandengan disetujuinya MOU Helsinki pada 15 Agustus 2005.
-
Code CallNo Lokasi Ketersediaan 01001120100122 320 Jum s/R.17.201 Perpustakaan Pusat (REF.17.201) Tersedia -
Perpustakaan Judul Seri -No. Panggil 320 Jum s/R.17.201Penerbit Program Pascasarjana Unpad : Bandung., 2013 Deskripsi Fisik xix,;426 hlm,;29 cmBahasa IndonesiaISBN/ISSN -Klasifikasi 320 Jum sTipe Isi -Tipe Media -Tipe Pembawa -Edisi -Subyek Info Detil Spesifik -Pernyataan Tanggungjawab Djumala, Darmansjah -
Konflik Aceh yang berlangsung se lama 3 (tiga) dekade dapat
diselesaikandengan disetujuinya MOU Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Masalah utama yang dibahas dalam disertasi ini adalah bagaimana peran
desentralisasi dan kebijakan soft power dalam penyelesaian konflik Aceh serta
bagaimana perdamaian Aceh pasca-MOU Helsinki dan faktor-faktor apa yang
mempengaruhinya.
Disertasi ini menggunakan metode kualitatif dan analisisnya
berdasarkan pada data primer hasil wawancara dengan berbagai narasumber
dan hasil riset terhadap referensi dan dokumen. U ntuk alat analisisnya, disertasi
ini menggunakan 3 (tiga) instrumen teori, yaitu teori desentralisasi, teori
transformasi konflik asimetris dan teori power.
Disertasi ini memperoleh temuan bahwa kebijakan desentralisasi
untuk Aceh diwarnai oleh kepentingan politik Pusat dalam berbagi
kewenangan dengan Aceh dalam pengambilan keputusan dan penguasaan
sumber-sumber. Kegagalan politik desentralisasi di Aceh disebabkan karena
pemberian otonomi khusus kepada Aceh dilakukan sepihaklunilateral, fait
accompli dari Pusat, tanpa mengikutsertakan GAM dalam proses dialog dan
negosiasi. Selesainya konflik Aceh disebabkan karena adanya keberanian
politik dari Pusat untuk mengubah struktur hubungan antara pemerintah dan
GAM; yakni bersedia berunding dengan pemberontak.
Disertasi ini menyimpulkan bahwa konflik Aceh dapat diselesaikan
bukan dengan hard power melainkan dengan soft power, yang
dimanifestasikan dalam pendekatan informal, kemanusiaan dan kekeluargaan
guna membujuk GAM agar mengadakan dialog dan negosiasi langsung
mengenai isi otonomi khusus Aceh. Perdamaian di Aceh pasca-MOU Helsinki
bukan sesuatu yang taken for granted, tetapi sangat tergantung pada bagaimana
Pusat mempercepat proses legislasi untuk realisasi otonomi khusus Aceh,
khususnya di bidang ekonomi, dan pada bagaimana GAM memanfaatkan
keistimewaan ekonomi untuk kesejahteraan Aceh.
Disertasi ini mengajukan beberapa implikasi teoritik dari temuan
temuannya terhadap teori yang sudah ada dengan cara mengkritisi dan
mengembangkan teori desentralisasi, teori transformasi konflik asimetris dan
konsep soft power. Kritik dan pengembangan terhadap ketiga teori itu
diharapkan dapat dijadikan sebagai titik tolak baru untuk mengembangkan
teori dimaksud sebagai sumbangan bagi khasanah keilmuan dalam bidang Ilmu
Pemerintahan.
-
Tidak tersedia versi lain
-
Silakan login dahulu untuk melihat atau memberi komentar.