Detail Cantuman

No image available for this title

Text  

"Pendekatan Sosio-Ekologi Dalam Perencanaan Konseptual Sabuk Hijau (Greenbelt) Waduk Jatiged"


Daerah Sabuk Hijau Waduk Jatigede berada pada elevasi 260-262,5 m dari ketinggian maksimum muka air bendungan yang meliputi 5 Kecamatan Administratif ...

  • CodeCallNoLokasiKetersediaan
    TM541TM541Perpustakaan Sekolah PascasarjanaTersedia
  • Perpustakaan
    Sekolah Pascasarjana
    Judul Seri
    -
    No. Panggil
    TM541
    Penerbit : Bandung.,
    Deskripsi Fisik
    -
    Bahasa
    Indonesia
    ISBN/ISSN
    -
    Klasifikasi
    NONE
    Tipe Isi
    -
    Tipe Media
    -
    Tipe Pembawa
    -
    Edisi
    -
    Subyek
    Info Detil Spesifik
    -
    Pernyataan Tanggungjawab
  • Daerah Sabuk Hijau Waduk Jatigede berada pada elevasi 260-262,5 m dari ketinggian maksimum muka air bendungan yang meliputi 5 Kecamatan Administratif yaitu Jatigede, Jatinunggal, Wado, Darmaraja dan Cisitu. Secara tata ruang daerah sabuk hijau tersebut merupakan kawasan perlindungan setempat (KPS) yang mana status kepemilikan lahannya berada dibawah kewenangan otorita pengelola waduk. Fenomena yang terjadi di waduk-waduk sebelumnya di Indonesia adalah sabuk hijau mengalami degradasi seperti okupasi pemukiman dan konversi lahan pertanian oleh masyarakat yang tidak mengidahkan prinsip-prinsip konservasi tanah dan air. Daerah sabuk hijau adalah sebagai zona penyangga dan merupakan interface (penghubung) antara zona inti (perairan) dengan zona diluar kawasan waduk (pemukiman masyarakat). Interaksi sosioekologi antara manusia dengan sumber daya alam akan selalu terjadi di zona penyangga tersebut. Tujuan penelitian ini adalah membuat konsep perencanaan pemanfaatan sabuk hijau melalui pendekatan sosio-ekologi lanskap yaitu menjadikan lahan sabuk hijau sebagai suatu areal multifungsi baik untuk fungsi konservasi dan juga untuk fungsi produksi, serta dalam pemanfaatannya melibatkan masyarakat yang terdampak pembangunan Waduk Jatigede.
    Penelitian difokuskan di 2 (dua) tempat yaitu Desa Karang Pakuan Kecamatan Darmaraja dan Desa Ciranggem Kecamatan Jatigede. Metode yang digunakan adalah kombinasi kuantitatif-kualitatif secara konkuren, untuk menggali karakteristik biofisik, sosial, ekonomi dan budaya serta persepsi dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan dari sabuk hijau Waduk Jatigede.
    Konsep dalam rencana pemanfaatan lahan sabuk hijau Waduk Jatigede adalah membuat zonasi berdasarkan faktor biofisik yaitu zona konservasi/lindung dan zona produksi/budidaya. Sedangkan sistem tataguna lahan yang dapat diterapkan adalah agroforestri tipe agrosilvopastura yang terdiri dari vegetasi komponen kehutanan (kayu dan tanaman serbaguna) - pertanian (hortikultura dan perkebunan) – peternakan (hijauan makanan ternak/HMT) yang akan ditanam di lahan sabuk hijau. Penerapan sistem agroforestri dalam pemanfaatan lahan sabuk hijau diintegrasikan dengan kegiatan pariwisata di dalam areal sabuk hijau dan juga kegiatan lain diluar areal sabuk hijau seperti : pemanfaatan lahan pekarangan, budidaya lebah, jamur kayu serta biogas dari kotoran ternak. Dengan konsep yang telah dibuat diharapkan fungsi dari sabuk hijau dapat tercapai baik aspek ekologinya untuk perlindungan dan pelestarian waduk juga dari aspek sosial yaitu untuk kesejahteraan masyarakat.

    Kata kunci : Sabuk Hijau Waduk Jatigede, Sosio-ekologi lanskap, Agroforestri

    ABSTRACT
    Green Belt area of the Jatigede Reservoir are located at an elevation of 260-262.5 masl covering 5 administrative districts namely Jatigede, Jatinunggal, Wado, Darmaraja and Cisitu. Spatialy is included into a local protected area which one the ownership of land is under the authority of the reservoir management. The phenomenon that occurred earlier in the dams in Indonesia are the green belt fields has degradation such as occupational settlement and conversion of agricultural land by civil society which does not convey the principles of soil and water conservation. Green belt area as buffer zone and an interface between the core zone (aquatic) and the outside of reservoir area (community settlement). The socioecological interaction between human and natural resources will always occur in the buffer zone. The purpose of this research is to make the concept of green belt land use planning with the socio-ecology approach of landscape that is to make the green belt land as multifunctional area both for conservation and production function and in its utilization involving people affected by the construction of Jatigede dam.
    This research focused on two villages namely Karang Pakuan (Darmaraja district) and Ciranggem (Jatigede district). The method used is a concurrent quantitative-qualitative combination to explore the biophysical, social, economic and cultural characteristics and perception of the stakeholders about exictence the green belt of the Jatigede dam.
    The concept in land use plan green belt of jatigede reservoir is to make zonation based on biophysical factor that is zones of conservation and production. While the land use system that can be applied was agroforestry with type is agrosilvopastura which consisting of vegetation components are forestry (trees/MPTS) – agriculture (horticultural and plantation crops) – livestock (forage). The application of agroforestry systems in the utilization of green belt land is integrated with tourism activities within the green belt area and also other activities outside border the green belt area such as : the use of yard land, honey bee and wood mushrooms cultivation and biogas from dirt cattle. With the concept has been made the expected function of the green belt can be achieved both ecology aspects which for protection and preservation of reservoir as well as social aspects that is for the welfare of society.
  • Tidak tersedia versi lain

  • Silakan login dahulu untuk melihat atau memberi komentar.


Informasi